Keberpihakan Warganet Terhadap Korban Kekerasan Seksual

Keberpihakan Warganet Terhadap Korban Kekerasan Seksual – belum merepresentasikan apa yang terjadi di dunia nyata.

Kekompakan warganet dalam berpihak kepada korban kasus kekerasan seksual yang ditumpahkan di ruang digital, memang tidak perlu diragukan lagi.

Sepanjang tahun ini saja, entah sudah berapa banyak kasus yang dibawa ke ruang digital dan mendapat “penghakiman” dari warganet. Salah satunya, kasus pelecehan seksual via chat oleh Reza Ghasarma, oknum dosen UNSRI. Diketahui, ada tiga korban yang melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian.

Ketika kasus ini ditumpahkan di Twitter, warganet ramai-ramai “menyentuh tombol viral”, membuat kasus ini mendapat perhatian lebih. Perkembangan kasus ini pun terus dipantau. Ketika ada kejanggalan atau ketidakadilan lain yang dialami korban, lagi-lagi warganet akan turun tangan.

Lihat saja betapa riuhnya warganet ketika video salah satu korban (inisial F) yang protes karena namanya dihapus dari daftar peserta yudisium, muncul di linimasa Twitter. Warganet membantu menyuarakan hak dan keadilan bagi korban, sambil mempertanyakan sikap pihak-pihak yang mempersulit korban.

Keberpihakan Warganet Terhadap Korban Kekerasan Seksual

Melihat fenomena ini (keberpihakan warganet terhadap korban kekerasan seksual), kita mungkin mulai berbahagia karena merasa di dunia maya sudah banyak warganet yang punya kesadaran untuk percaya dan berpihak kepada korban. Saya pun mengamini itu. Meskipun sebagian besar warganet tidak mengenal para korban, tetapi rasa empati dan kemanusiaan, mendorong kita untuk mengupayakan keadilan bagi para korban yang terkadang memang kalah “power” dibanding para pelaku.

Namun sayangnya, keberpihakan terhadap korban—yang lazim kita temui di ruang digital—tidak banyak terjadi dalam dunia nyata.

korban kekerasan seksual

Saya ingat ketika salah satu teman saya ada yang jadi korban pemerkosaan. Sebut saja namanya Bubu. Apa yang menimpa Bubu, tidak tersentuh jari dan mata warganet secara luas. Tidak ada dukungan besar bagi Bubu dan keluarganya. Yang datang bertubi-tubi dari tetangga Bubu justru hinaan dan kalimat-kalimat menyalahkan korban.

Makanya, kalau kerja itu, cari yang pulangnya sore. Perempuan kok kerja sampai malam.

Itu salah satu kalimat yang saya dengar keluar dari mulut tetangga Bubu pada saat itu. Karena tidak tahan dengan situasi yang ada, Bubu dan keluarganya akhirnya memilih pindah rumah.

Lain lagi dengan apa yang dialami oleh salah satu kerabat dekat saya yang juga menjadi korban pemerkosaan (sebut saja namanya Yaya). Yaya menjadi korban pemerkosaan, lalu hamil. Takut aborsi membuatnya terpaksa menjalani kehamilan tak direncanakan.

Sama seperti Bubu, Yaya juga mendapat perlakuan tidak adil dari para tetangga. Yaya dan keluarga–yang tinggal bersamanya—, dikucilkan. Diusir karena dianggap aib, bikin kotor kampung, dan pembawa sial.

Orang tua Yaya juga menutup kasus ini dari keluarga besar. Yang sudah telanjur tahu, diminta diam agar beritanya tidak menyebar. Mereka tidak sanggup kalau kabar tersebut menyebar dan hinaan akan datang terus-menerus, tak kenal ampun. Merasa tidak punya bukti kuat juga membuat mereka ragu dan takut untuk menempuh jalur hukum.

Ketika kemudian Yaya melahirkan, perundungan itu kembali datang. Tanpa diminta, para tetangga sudah sigap memberi nama kepada si bayi yang baru lahir. “Anak haram”, demikian mereka menyebutnya.

Setelah melahirkan, Yaya ingin menata hidupnya kembali. Sudah cukup selama ini dia bersembunyi. Keputusan pertama yang dia buat adalah setuju ketika ada pihak yang siap merawat dan membesarkan anaknya.

Keputusan Yaya tentu saja adalah sesuatu yang tidak merugikan orang lain. Namun, lagi-lagi para tetangga merasa terusik. Katanya, Yaya itu tidak punya perasaan sebagai seorang ibu. Punya anak kok dikasih ke orang, ibu macam apa itu?

Lagi-lagi Yaya yang disalahkan. Padahal, tujuan Yaya menyerahkan si anak adalah untuk kesehatan fisik dan mentalnya sendiri, demikian juga dengan kesehatan fisik dan mental si anak. Yaya tidak ingin anaknya tinggal dan bertumbuh dalam lingkungan yang terus-terusan memberi perundungan.

Di media sosial, ketika ada akun/orang yang menyalahkan korban, warganet lainnya akan ramai-ramai mengcounter dengan memberikan penjelasan atau pemahaman lebih dalam (tidak sedikit juga yang langsung memaki).

Akan tetapi, dalam dunia nyata, hal-hal semacam ini sepertinya masih terbilang mahal harganya. Makanya, selalu ada rasa takjub/kagum ketika ada kabar tentang tetangga yang membantu korban kasus kekerasan seksual.

Saat ini, Yaya sudah menikah. Sudah mulai menata hidupnya yang baru. Namun, untuk bisa sampai ke tahap itu, ada proses yang berat dan panjang. Ketika kabar pernikahan itu menyebar, para tetangga masih saja bertingkah aneh. Seolah-olah Yaya (sebagai penyintas) tidak boleh hidup dengan baik-baik saja. Saat itu, si calon suami dan keluarganya, dihasut. Itu ceweknya gadis, tapi bukan perawan, lho. Kok mau, sih?

Fiuhh… Betapa berat dan panjangnya perjuangan para korban dan penyintas. Itupun yang dibahas baru tentang bagaimana lingkungan tempat tinggal memperlakukan mereka, belum dibahas tentang bagaimana perjuangan dalam proses hukum.

Pada intinya, bagaimana warganet bekerja sama dalam semangat “berpihak kepada korban”, tentu sangat pantas diapresiasi. Kita patut berbahagia akan hal itu. Namun, yang juga perlu diingat, dalam kehidupan nyata, api semangat itu juga masih sangat dibutuhkan karena keberpihakan warganet terhadap korban kekerasan seksual, belum sepenuhnya merepresentasikan apa yang terjadi di dunia nyata.

 

Author :

Seorang ibu yang suka membaca dan sedang belajar menulis. Blasteran Jawa-Toraja, yang bisa disapa lewat IG dan Twitter @utamyyningsih

Leave a Comment